Prof. Popy Rufaidah, Orang Indonesia Pertama yang Raih Penghargaan America-Eurasia Center – Universitas Padjadjaran

[Kanal Media Unpad] Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Padjadjaran, Prof. Popy Rufaidah, SE., MBA., PhD, meraih penghargaan “Star of Excellence Award” dari America-Eurasia Center, Washington, D.C. Prof. Popy yang juga Atase Pendidikan dan Kebudayaan, KBRI Washington, D.C., Desember 2018 – September 2022, menjadi orang Indonesia pertama yang mendapatkan penghargaan bergengsi tersebut.

Penghargaan diberikan langsung Presiden America-Eurasia Center, Dr. Gerard Janco kepada Wakil Dubes RI untuk AS, Sade Bimantara, mewakili Prof. Popy yang telah berada di Indonesia, pada acara America-Eurasia Center “Embassies of the World in Washington, DC, Special Cultural and Business Networking Event”, di Ven-Embassy Row, Washington, D.C., AS, Rabu (26/10/2022) waktu setempat.

Saat diwawancarai Kanal Media Unpad, Prof. Popy menjelaskan, America-Eurasia Center, salah satu organisasi wadah pemikir (think tank) tertua bereputasi di AS, memberikan penghargaan atas upaya memperkuat hubungan dengan Amerika Serikat dan menyatukan pimpinan kedutaan besar yang ada di Amerika Serikat bidang Pendidikan dan Kebudayaan.

“Penghargaan ini berbeda dengan sebelumnya. America-Eurasia Center memberikan apresiasi atas apa yang telah dilakukan KBRI melalui Atikbudnya dalam memperkuat hubungan dengan AS dan menyatukan para Atikbud sehingga terbentuk Asosiasi Atikbud se-AS di Washington, D.C.,” tutur Prof. Popy.

Dalam hal ini, Prof. Popy terpilih mendapatkan penghargaan sebagai sosok pendiri yang menginisiasi pembentukan asosiasi bagi para Atase Pendidikan dan Kebudayaan dari berbagai perwakilan kantor kedutaan besar di Amerika Serikat.

Inisiasi yang dilontarkan Prof. Popy tersebut telah digaungkan pada pertemuan yang diselenggarakan Kementerian Luar Negeri AS, bidang Pendidikan dan Kebudayaan di Washington, D.C., awal Januari 2020. Meski terkendala pandemi, apa yang dilakukan Prof. Popy berbuah manis.

Pada 25 Mei 2022 resmi terbentuk Asosiasi Atase Pendidikan dan Kebudayaan Amerika Serikat/Washington Educational & Cultural Attaché Association (WECAA).

“Kiprah ini yang dianggap America-Eurasia Center sebagai sesuatu yang perlu diapresiasi karena belum pernah ada asosiasi seperti ini,” ujar Prof. Popy yang menjadi sebagai Presiden pertama WECAA. Melalui WECAA, wadah ini menjadi upaya untuk memperkuat diplomasi pendidikan dan kebudayaan antar negara duta dengan Amerika Serikat.

Sebagai orang Indonesia pertama yang memperoleh penghargaan prestisius tersebut, Prof. Popy mengaku terkejut dan senang bisa memperoleh penghargaan ini. Bahkan penghargaan ini biasa diberikan kepada Duta Besar dan perusahaan bergengsi AS. Ia sendiri telah menyelesaikan tugasnya sebagai Atikbud pada September 2022 lalu.

“Saya sangat surprise, dapat kabar ketika sudah pulang. Suatu kejutan happy ending sebagai Atdikbud, karena apa yang dilakukan selama di AS ternyata ada yang memberikan apresiasi,” tuturnya.

Prof. Popy menjalankan amanat sebagai Atikbud di KBRI Amerika Serikat pada Desember 2018 lalu. Bekerja sebagai Atikbud di negara adi daya memiliki tantangan tersendiri. Salah satunya meyakinkan mitra di Amerika Serikat bisa bekerja sama di bidang Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. Kerja sama dengan Amerika Serikat terbuka luas.

“Tinggal bagaimana kita proaktif, Amerika Serikat negara yang sangat menghargai kompetensi dan keunggulan yang dimiliki setiap seseorang, hal tersebut perlu dipresentasikan dengan sebaik-baiknya. Siapa yang bisa menyampaikan dan meyakinkan itu bisa menjadi penguat penjalin kerjasama,” papar Prof. Popy.

Saat ini, Prof. Popy yang masih aktif sebagai Dewan Penasihat Asosiasi Atdikbud se-AS di Washington, D.C., /WECAA, kembali menjalankan tugasnya sebagai guru besar bidang Marketing dan Manajemen Strategis di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unpad.

“Saat ini, sharing session pengalaman yang hampir empat tahun diperoleh selama di AS dilakukan pada beragam pihak di kalangan perguruan tinggi dan instansi terkait di Indonesia, khususnya dalam rangka peningkatan hubungan kerja sama Indonesia dengan AS,” pungkasnya.*

Sesi ke-9 Eurasia International Course FIS UNJ mengundang Guru Besar Universitas Indonesia, Prof. Melani Budianta

Humas UNJ, Jakarta-Kamis, 3 November 2022, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta (FIS UNJ) menyelenggarakan The Eurasia International Course pertemuan kedelapan di mana FIS UNJ menjalin kerja sama dengan The Eurasia Foundation (from Asia) untuk program International Guest Lecturer Series. International Guest Lecturer Series ini akan dilaksanakan oleh FIS UNJ 1 kali pertemuan setiap minggunya, dari bulan September 2022 hingga Desember 2022. Total pertemuan dari September 2022 hingga Desember 2022 sebanyak 17 kali pertemuan.

Kegiatan ini sendiri dilakukan secara hibrid, baik secara dari daring melalui Zoom dan Live Streaming Youtube FIS UNJ Official, dan luring di Gedung Dewi Sartika, Lantai 10, Kampus A UNJ. Kegiatan ini diikuti oleh 42 mahasiswa yang hadir luring dan 72 mahasiswa hadir daring, dosen serta masyarakat umum, baik di UNJ maupun di luar UNJ. Pada pertemuan kedelapan ini, FIS UNJ menghadirkan narasumber Prof. Melani Budianta dari Universitas Indonesia secara daring dengan topik “Sustainability, Gender, and Multiculturalism in Indonesia”.

Melalui pemaparan daringnya, Prof. Melani menjelaskan bagaimana sustainability, multikulturalisme dan gender memiliki keterkaitan. Pada paparannya, Prof. Melani menyampaikan bahwa pembangunan yang baik adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan saat ini namun tidak mengabaikan kemampuan dan kebutuhan generasi berikutnya. Keberlangsungan dari pembangunan yang ada ini perlu dilihat dari pendekatan sistemik, yang melihat bagaimana keterkaitan sistem-sistem yang ada yaitu seperti sistem lingkungan, sistem ekonomi dan sistem sosial.

Pada pemaparannya juga, Prof. Melani menjelaskan bahwa ada beberapa hal yang dapat menghambat pembangunan berkelanjutannya, salah satunya adalah berbagai konstruksi sosial yang terbentuk di Indonesia saat ini, salah satunya mengenai gender. Masyarakat bisa dikatakan multiculturalism jika masyarakat dapat menghargai keragaman budaya, agama, ras, suku ataupun keragaman latar belakang lain, termasuk diantaranya perbedaan gender. Manusia terkonstruksi secara berbeda-beda, bakat dan talenta itu berbeda-berbeda. Jika pemahaman ini tidak dikelola dengan baik pada pendidikan, maka akan menyebabkan masalah-masalah seperti kesehatan mental, ada kelompok yang tersisih, ada kelompok yang tertekan. Perlu adanya pengelolaan pada ketiga sistem (sistem lingkungan, sosial, dan ekonomi) agar tercapainya state of wellbeing, ucap Prof. Melani.

Sementara itu Rakhmat Hidayat selaku Koordinator Pelaksana kegiatan yang juga dosen Prodi Pendidikan Sosiologi FIS UNJ menyampaikan ucapan terima kasih kepada Prof. Melani dan materi, pengetahuan, dan cerita yang disampaikan oleh Prof. Melani sangat berkaitan dan relevan dengan Indonesia, serta disampaikan dengan cara yang memudahkan mahasiswa untuk memahami materi, ungkap Rakhmat Hidayat.

Pada acara ini juga, Prof. Sarkadi selaku Dekan FIS UNJ menyampaikan bahwa kedatangan Prof. Melani  merupakan sebuah kehormatan dan juga menjadi kesempatan baik bagi mahasiswa untuk belajar langsung dari dosen dan pakarnya, ungkap Prof. Sarkadi.

Belajar Produktif dari Prof. Deddy Mulyana, Guru Besar yang Hasilkan 53 Buku – Universitas Padjadjaran

[Kanal Media Unpad] Menulis telah menjadi bagian hidup tak terpisahkan dari seorang Prof. Deddy Mulyana, M.A., Ph.D. Ada kesenangan tak ternilai yang dirasakannya tatkala tulisan Guru Besar Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran tersebut dibaca dan diapresiasi orang lain.

Dari kecintaannya akan menulis, Prof. Deddy telah menghasilkan 53 buku, lebih dari 50 artikel ilmiah di jurnal internasional dan nasional, lebih dari 40 book chapter, dan ratusan artikel ilmiah populer maupun kolom atau opini di media massa, antara lain: Pikiran Rakyat, Kompas, Media Indonesia, Republika, Gatra, dan the Jakarta Post. Empat buku di antaranya dalam bahasa Inggris.

Buku ke-53 yang ditulis Prof. Deddy Mulyana adalah Communication Technology and Society: Exploring the Multicultural and Digital World yang ditulis bersama Dr. Devie Rahmawati, dosen Universitas Indonesia. Buku berbahasa Inggris tersebut merupakan kumpulan dari artikel ilmiah Prof. Deddy yang diterbitkan di jurnal terindeks Scopus dan jurnal Sinta-2, tetapi setiap artikel telah dipoles sedemikian rupa sehingga sesuai dengan format buku. Buku yang baru diluncurkan dan dibedah secara daring pada Rabu (2/11/2022) lalu tersebut telah habis dibeli orang.

“Orang kadang-kadang heran, kenapa saya bisa menghasilkan 53 buku? Saya sendiri tidak percaya, tapi faktanya seperti itu,” seloroh Prof. Deddy.

Kanal Media Unpad berkesempatan mewawancarai Prof. Deddy Mulyana di kediamannya di kawasan Parakan Waas, Bandung, Jumat (4/11/2022). Ribuan koleksi buku tersimpan rapi di lemari rumahnya. Wawancara pun dilakukan di ruang kerja Prof. Deddy dengan latar belakang dua lemari yang menyimpan karya buku dan tulisan-tulisannya.

Prof. Deddy mulai menulis sejak masih di SMA, yaitu pada tahun 1970-an. Cerita pendek menjadi karya yang sering ditulis Prof. Deddy hingga duduk di bangku kuliah. Kurang lebih 80 cerita pendek berhasil ditulis Prof. Deddy. Karya fiksi tersebut telah diterbitkan menjadi beberapa buku kumpulan cerpen.

Setelah itu, ia mulai banyak menulis karangan khas berupa feature perjalanan. Sejak menempuh studi Sarjana Ilmu Komunikasi di Fikom Unpad, ia banyak melawat ke luar negeri. Hal-hal unik yang ditemukan saat melawat itulah yang kemudian ditulis sebagai feature perjalanan. Kumpulan karangan khas ini juga telah dibukukan.

“Baru beberapa bulan kemudian setelah saya lulus dari Fikom Unpad pada 1981, saya mulai menulis artikel ilmiah populer,” tuturnya.

Artikel pertamanya berjudul “Kapan Kita Punya TV Sekolah?” yang dimuat di surat kabar Pikiran Rakyat (7/12/1981). Artikel terakhirnya berjudul “Etnometodologi Kasus Sambo,” yang dimuat Kompas (3/11/2022) yang menjadi viral di media sosial dan mendapatkan apresiasi banyak pembacanya.

Sejak menjalani profesi sebagai dosen, Prof. Deddy dituntut untuk menghasilkan karya ilmiah. Praktis, ia mulai menulis banyak buku dan artikel ilmiah. Buku tersebut banyak dibaca orang, khususnya dari kalangan akademisi dan mahasiswa yang mempelajari ilmu komunikasi.

Buku “fenomenal” yang dihasilkannya adalah Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar yang terbit pertama kali pada 2000. Tidak hanya dibaca, buku ini juga menjadi pegangan wajib mahasiswa ilmu komunikasi di Indonesia. Tidak heran jika buku ini telah mengalami 23 kali cetak ulang—di luar buku bajakan yang jumlahnya jauh lebih banyak lagi.

Makin senang menulis, Prof. Deddy makin jatuh cinta dengan dunia menulis. Apa lagi ketika tahu karya-karya tersebut dibaca dan diapresiasi banyak orang.

“Setelah artikel kita dimuat di media massa, atau buku tersebut dicetak dan dijual di toko buku, memang ada imbalan material, tetapi imbalan nonmaterial lebih tinggi. Ada sensasi yang saya rasakan ketika mendapatkan apresiasi dari orang bahwa buku atau artikel itu bagus. Itu membuat kita senang. Apa lagi ketika kita tahu buku itu diwajibkan di perguruan tinggi, itu membuat kita senang lagi,” ujarnya.

Menulis Beragam Perspektif

deddy mulyana
Prof. Deddy Mulyana dengan latar belakang dua buah lemari yang berisikan karya-karya tulisannya. (Foto: Dadan Triawan)*

Prof. Deddy Mulyana mengatakan, komunikasi merupakan kebutuhan manusia. Karena itu, kajian ilmu komunikasi tidak akan habis untuk dipelajari. Ada banyak bidang atau perspektif ilmu komunikasi yang bisa digali. Ini yang Prof. Deddy lakukan lewat menulis.

“Keserbahadiran komunikasi di berbagai bidang ini menciptakan disiplin komunikasi yang lebih khusus, seperti Komunikasi Antarbudaya, Komunikasi Bisnis, Komunikasi Politik dan Komunikasi Kesehatan. Kemudian kalau kita bicara mengenai sudut pandangnya, itu juga akan beragam. Ada perspektif yang objektif/positivis, interpretif/konstruktivis, dan kritis,” jelasnya.

Masing-masing terbagi lagi menjadi beberapa varian. Yang paling ia senangi dan kuasai adalah yang interpretif.

Karena itu, Prof. Deddy memanfaatkan keragaman disiplin dan perspektif pada ilmu komunikasi. Tinggal dipilih bidang komunikasi mana yang akan dibahas dan perspektif apa yang akan digunakan. Tidak jarang pula ia menulis hal-hal yang “keluar” dari bidang keahliannya di bidang komunikasi antarbudaya, komunikasi kesehatan, dan kajian media,misalnya dengan mengeksplorasi Komunikasi Hukum seperti dalam artikel “Etnometodologi Kasus Sambo” yang memang belum banyak dikembangkan di Indonesia.

Karena produktivitas menulis berdasarkan banyak bidang dan perspektif yang digelutinya inilah Prof. Deddy Mulyana kerap disebut sebagai “Begawan Ilmu Komunikasi” di Indonesia.

Saat akan menulis buku, Prof. Deddy selalu menentukan dahulu apakah buku tersebut akan menjadi pegangan kuliah atau bukan. Jika buku tersebut direncanakan akan digunakan untuk pegangan kuliah dalam waktu yang cukup lama, judul buku akan disesuaikan dengan nama mata kuliah bersangkutan, seperti Metodologi Penelitian Kualitatif (2002) dan Pengantar Komunikasi Lintas Budaya (2019).

Selain itu, gaya menulis buku Prof. Deddy lebih banyak menggunakan gaya naratif/bercerita. Ini didasarkan pada prinsip bahwa  manusia adalah Homo Narrans, yakni merupakan makhluk yang suka bercerita dan menyukai cerita. Karena itu, tema sekompleks apa pun disampaikan dengan gaya bercerita dengan menggunakan diksi yang mudah dimengerti.

Tidak jarang, Prof. Deddy menyelipkan unsur humor dalam penjelasannya. Gaya storytelling inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa buku ilmiah karyanya kerap laris di pasaran.

Kiat Produktif Menulis

Diakui Prof. Deddy Mulyana, menulis merupakan keterampilan dalam komunikasi yang cukup sulit dikuasai. Pasalnya, keterampilan ini harus terus dilatih sepanjang waktu. Namun, bukan berarti keterampilan ini menjadi momok menakutkan bagi setiap orang.

Ada beberapa tips yang didasarkan atas pengalaman menulis Prof. Deddy. Hal utama adalah menyenangi aktivitas menulis, antara lain dengan mencoba menulis hal-hal yang disenangi, selain sesuai dengan bidang keahlian. “Tidak harus langsung senang. Rasa senang itu bisa dibangun, awalnya kita perlu rasa curiosity (penasaran),” kata Prof. Deddy.

Setelah itu, banyak membaca karya orang, menguasai bahasa asing, hingga terus berlatih sepanjang waktu merupakan tips yang bisa dilakukan agar mampu menulis dengan baik.

Terakhir, kata Prof. Deddy Mulyana, penulis harus memiliki kecerdasan emosional. Kecerdasan ini dibutuhkan untuk membangun konsistensi menulis tatkala tulisan mengalami penolakan. “Artinya, jangan kesal, kecewa, apalagi putus asa, ketika tulisan kita ditolak editor atau penerbit; perbaiki lagi tulisan kita, sampai kita merasa tulisan itu optimal, atau buat lagi tulisan yang lain, hingga akhirnya tulisan kita diterbitkan,” jelasnya.*