Penerapan “Business Judgement Rule” dan Harmonisasi Dua Lembaga Kehakiman – Universitas Padjadjaran

[Kanal Media Unpad] Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Prof. Dr. Isis Ikhwansyah, M.H., CN., mengatakan, Business Judgement Rule diadakan sebagai bentuk perlindungan yang diberikan kepada direksi perusahaan saat melakukan pengambilan keputusan bisnis yang berdasarkan due care dan due diligence.

Hal tersebut disampaikan Prof. Isis saat membacakan orasi ilmiah berjudul “Implementasi Business Judgement Rule dalam Penegakan Hukum Perusahaan Menuju Kepastian Hukum” dalam Upacara Pengukuhan dan Orasi Ilmiah Jabatan Guru Besar yang digelar di Grha Sanusi Hardjadinata Unpad, Bandung, Kamis (17/11/2022).

Prof. Isis menjelaskan, Business Judgement Rule sudah diadopsi dan dijadikan kaidah di dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas atau UU Nomor 40 Tahun 2007 di Indonesia. Ada empat hakikat prinsip perlindungan yang diberikan kepada direksi perusahaan.

Empat hakikat pemberian aturan penilaian bisnis tersebut meliputi apabila kerugian timbul bukan karena kesalahannya, pengurusan perseroan dilakukan dengan itikad baik, tidak ada benturan kepentingan dalam pengurusan dan mengakibatkan kerugian, serta direksi telah mengambil tindakan untuk mencegah timbulnya kerugian.

“Keempat unsur tersebut dilakukan oleh direksi dalam rangka mendapatkan perlindungan pada saat memutuskan Business Judgement Rule,” ujarnya.

Guru Besar bidang Ilmu Hukum tersebut memberikan contoh implementasi Business Judgement Rule dalam kasus yang diakukan Direksi Pertamina.

Putusan MA No. 121.K/Pid.sus/2020 memvonis lepas dugaan korupsi atas nama terdakwa Dirut Pertamina. Para Hakim Agung memandang bahwa apa yang dilakukan terdakwa adalah Business Judgement Rule, sehingga perbuatan yang dilakukan bukan merupakan tindakan pidana.

“Putusan ini sendiri diambil oleh Majelis Hakim MA dengan suara bulat, tidak ada satu pun Hakim Agung menyatakan dissenting opinion,” tuturnya.

Bertolak Belakang

Kendati aturan ini menjadi upaya perlindungan bagi direksi, pada praktiknya, terdapat pandangan bertolak belakang terhadap konsep kekayaan yang dipisahkan sebagaimana diatur dalam UU BUMN antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. MA sebagai court of justice dan MK sebagai court of law memiliki pandangan berbeda dalam hal menilai suatu kasus yang melibatkan jajaran direksi perusahaan.

Prof. Isis memaparkan, MA berpandangan bahwa kekayaan negara yang dipisahkan pada BUMN tunduk pada UU tentang Kekayaan Keuangan Negara, sehingga BUMN dituntut mengelola sumber daya optimal.

Pandangan berbeda dikemukakan melalui Putusan MK yang menyatakan badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, yaitu kekayaan negara yang berasal dari APBN. Adanya Putusan MK ini membuat pengelolaan sumber daya BUMN menjadi tidak optimal.

Guru Besar bidang Ilmu Hukum tersebut mengatakan, pemikiran MK yang berbeda dengan MA ini menjadi permasalahan berlarut yang tiada akhir, sehingga mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum.

“Adanya ketidakharmonisan dan ketidakpastian dalam memahami kaidah kekayaan negara yang terpisah pada BUMN persero dalam lapangan hukum bisnis, seyogianya harus diselesaikan secara bersama-sama, bukan hanya oleh MA dan MK saja tetapi oleh para pemerhati hukum bisnis, dan hukum terkait, dan tentunya DPR melalui wakilnya, sehingga tujuan dari penegakan hukum guna meningkatkan ketertiban dan kepastian hukum dalam masyarakat segera terwujud,” tutupnya.*